Rabu, 07 Oktober 2009
Memaknai Bencana Indonesia
Oleh: Ahmad Sadzali
Pamor Indonesia sebagai negara yang akrab dengan bencana alam sudah tidak diragukan lagi. Betapa tidak, rutinitas bencana terus berjalan dan berkesinambungan layaknya episode dalam sinetron. Tragedi kemanusiaan yang sangat menyayat hati ini sekarang telah menjadi sebuah ancaman serius bagi masyarakat Indonesia, karena ia bisa datang kapan saja dan di mana saja tanpa ada dugaan atau perhitungan sebelumnya. Suasana senang menikmati indahnya bumi Khatulistiwa, bisa saja setiap saat berubah menjadi suasana sedih dan menakutkan ketika melihat banyaknya korban berjatuhan dan rumah serta gedung yang runtuh oleh dahsyatnya getaran bumi.
Bila semua ini telah terjadi, lalu apakah kita hanya bisa diam menerima keadaan?
Tidak. Tentunya kita tidak bisa hanya tinggal diam dengan musibah yang menimpa kita. Paling tidak kita akan menanyakan, "Mengapa semua ini bisa terjadi?". Namun dari pertanyaan yang simpel itulah sebenarnya kita akan tahu apa yang selanjutnya harus kita perbuat? Dan apa yang ke depannya harus kita perbaiki?
Dalam menaggapi bencana atau memaknainya, semua orang tentu memiliki perspektif yang beragam. Ada yang memaknainya sebagai azab dan siksa dunia, ada juga menganggapnya sebagai ujian dan cobaan, ada juga yang menyikapinya sebagai peringatan atau teguran kepada kita semua, dan bahkan ada juga yang menjadikannya sebagai manfaat dan keuntungan. Itu semua tergantung pada individu masing-masing.
Namun tentunya kita sebagai Muslim dan masyarakat Indonesia yang umumnya beragama Islam, merasa bahwa bencana alam itu adalah sebuah cobaan dan peringatan dari Allah SWT. Kita yakin kalau cobaan ini bisa kita lewati dengan baik, maka kadar keimanan kita akan semakin bertambah.
”Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan ”Kami beriman”, sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut: 2-3).
Di samping itu kita juga yakin kalau ini adalah peringatan keras dari Allah atas kelalaian kita selama ini. Allah memperingati kita dengan bencana ini agar kita kembali kepada-Nya, jangan seperti orang-orang terdahulu yang telah melakukan kemungkaran terhadap-Nya.
Maka, tatakala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi, tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu; lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Yunus: 22-23).
Bagi mereka yang tertimpa musibah tersebut, maka tidak ada kata lain selain kata sabar. Tanpa kesabaran, maka untuk menerima semua ini sungguhlah berat. Dalam psikologi manusia, kehilangan keluarga, orang-orang tercinta, dan harta benda bukanlah hal yang mudah. Sedih dan beban mental sudah menjadi fitrah manusia, namun kesabaranlah yang akan membuktikan kualitas taqwa.
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al-Baqarah: 153).
Saatnya sekarang kita benar-benar melakukan perubahan yang nyata. Dari kemungkaran kepada ketaqwaan, dari kemusyrikan kepada keimanan. Sudah terlalu banyak orang yang berbicara tentang hikmah di balik bencana, sudah terlalu sering tulisan yang mengangkat tema hikmah dari bencana, tapi kalau itu semua hanya seperti angin lalu, maka apalah artinya. Wallahu a'alam. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar