Sabtu, 29 Mei 2010

Bahaya Film "Cin(T)a"

61 komentar

Bismillahirrahmanirrahim.

Aku yakin teman-teman juga sudah ada yang nonton film ini. Jadi, kalo dibilang basi, itu memang wajar juga. Karena film ini sudah dirilis tahun 2009 lalu. Namun, tidak menutup kemungkinan juga kan, ada teman-teman yang belom nonton nih film, dan nanti akan menontonnya. Aku juga tergolong orang yang baru nonton dan baru tau kok sama film ini. Tepatnya kemarin malam aku nonton film ini.

Ketika pertama kali nonton sih sepertinya seru dan unik. Gimana tidak unik, wong pemeran filmnya aja cuman 2 orang kok. Kisahnya menceritakan sepasang kekasih yang berbeda agama yang saling jatuh cinta. Yang laki-laki dengan nama Cina itu beragama kristen, dan perempuan dengan nama Annisa itu Islam. Keduanya sama-sama sekolah di fakultas Arsitektur ITB.

Setelah mengikuti sampai habis film ini, aku langsung menilai kalau film ini membawa misi Pluralisme Agama, Kristenisasi, dan bahkan Ateisme. Bahkan aku langsung menuliskannya di status Facabook. ^_^. Ternyata emang betul demikian adanya. Pendapatku ternyata tidak sendiri. Setelah mencari tau tentang film ini, aku dapati sekian banyak kritikan dan protes atas film ini. Bahkan aku mendapatkan rekaman wawancara eksklusif dengan sutradara film tersebut, Sammaria Simanjuntak,seorang yang beragama Kristen. Dan dari penuturannya, dia sendiri mengakui bahwa dia adalah salah satu orang yang sulit untuk percaya Tuhan begitu saja.

Untungnya aku dapat mernafas lega sedikit, ketika aku telusuri film ini di LSF (Lembaga Sensor Film) Indonesia, ternyata film ini tidak lulus sensor. Dan aku cari di Studio 21 pun juga demikian, ternyata tidak terdapat film yang kontroversial ini. Artinya, film ini belum banyak diketahui khalayak ramai, dan penyebaran filmnya pun hanya diam-diam. Namun film ini juga pernah ditayangkan sih waktu ia diikutkan dalam festival film di Yogjakarta pada Agustus 2009 lalu. Ketika itu terdapat sekitar 250an orang yang menonton film ini. Selain itu juga pernah tayang di Inggris. Tapi yang palign cuman gitu-gitu aja, dan masih tidak banyak masyarakat awam yang tau tentang film ini.

Nah, aku yakin banget jika kita (apalagi remaja) dilarang terhadap sesuatu, maka keingin tahuan terhadap sesuatu yang dilarang itu semakin tinggi. Maka tidak menutup kemungkinan juga, ada dari teman-teman yang justru penasaran dengan isi film ini, lalu mencari dan menontonnya. Ya, itu sih wajar saja, dan silahkan saja. Tapi dengan syarat, ketika nonton film itu harus hati-hati, dan jangan sampai termakan nilai-nilai yang ada pada film itu. Gunakanlah daya kritis kalian sebagai orang yang berworldview Islam.

Untuk itulah aku ingin ngasih tau beberapa catatan penting yang perlu kita perhatikan dalam adegan-adegan dan dialog di film ini. Ingat! Kalo aku boleh bilang ya, setiap dialog yang ada dalam film ini, sarat dengan misi filofis tersendiri. Maka kalau kita tidak jeli melihatnya, brabe deh kita jadinya ntar. hehehe...!

Beberapa catataku sebagai berikut:

1. Dari judul film ini saja sudah terkesan misterius dan terdapat makna tersembunyi di balik itu semua. Judulnya "Cin(T)a". Maksudnya, menceritakan tokoh laki-laki dalam film itu, yang namanya "Cina". Sedangkan huruf "T" yang di dalam kurung apa donk...? Kalo aku berpendapat sih (wallahu'alam), itu salah satu misi kristenisasi. (Bukan maksudku su'udzon ato buruk sangka lho ya...! Tapi ini adalah bentuk kehati-hatian). Huruf "T" adalah lambang salib. Mengapa aku ber[endapat demikian? Pertama, karena sutradara dari film ini sendiri adalah seorang Kristen, yang sangat kental dengan kekristenannya. Kedua, Cina yang menjadi tokoh utama dalam film itu memang beragama Kristen.

2. Film itu sangat tidak adil terhadap Islam. Maksudnya, dari segi penokohannya, Cina dilambangkan sebagai orang yang sangat alim dan konsisten terhadap agamanya. Sedangkan si Annisa, tokoh wanitanya yang beragama Islam, digambarkan bukan sebagai muslimah yang konsisten terhadap agamanya. Mengapa demikian? Karena Annisa di dalam film ini diperankan sebagai artis. Sehingga dengan alasan itulah, oleh sutradara ia tidak dipakaikan jilbab, membuka aurat, dan bebas bersentuhan, berdekatan, dan berpegangan tangan dengan laki-laki. Yah, aku akui sih, itu memang salah satu kecerdasa sutradara dalam film ini. ^_^

3. Menghina terhadap nama Annisa yang diambil dari Al-Qur'an. Ini terdapat dalam dialog ketika Cina ditanya nama aslinya oleh Annisa. Cina menjawab kalau nama dia itu memang Cina. Terus Annisa nyeletuk "Tega banget ya bokap loe, udah tau cina, masih dikasih nama Cina...!" Lantas si Cina itu menjawan dengan cerdar pernyataaan Annisa itu. Dan malah menyerang balik dengan berkata, "Udah tau perempuan, malah dikasih nama Annisa." Tidak hanya sampai di situ, dalam dialog itu juga terdapat penghinaan terhadap nama surat Annisa sebagai surat di Al-Qur'an yang sangat sadis dan tidak tolerir dengan wanita, karena di dalam surat Annisa terdapat ayat yang menganjurkan untuk memukul wanita. Ini distorsi penafsiran!

4. Meremehkan Tuhan. Ini terdapat dalam dialognya si Cina yang mengatakan, "Emang arsitek itu suka berasa Tuhan, makanya tidak terpikirkan kalau ada rancangan yang lebih baik!" Coba kalian pahami dan teliti benar-benar di kalimat ini! Kalimat ini menunjukkan kalau Tuhan itu tidak kuasa. Ini dapat dibuktikan dengan mafhum mukhalafahnya. Seperti ini, "Emang arsitek itu suka berasa Tuhan, makanya tidak terpikirkan kalau ada rancangan yang lebih baik. Artinya rancangan tuhan itu belum tentu baik, karena ada rancangan lagi yang lebih baik dari Tuhan!" Kalo ada yang salah dalam pemaham aku di poin ini, tolong kasih komen dan kritikannya aja ya...! Kali aja kan kali sependapat dengan statment itu. hehehe...!

5. Neraka disamakan dengan perumahan atau permukiman kumuh. Ini terdapat dalam dialog Annisa ketika makan bakso dengan Cina di pinggiran permukiman yang kumuh. Lantas aku bertanya-tanya, emang neraka masih seenak permukiman kumuh ya...? Wah, kalu gitu gak serem amat sih neraka. hehehehe....!

6. Dialog Annisa yang mengandaikan kejadian yang sudah terjadi dan cenderung meremehkan dakwahnya Nabi Muhammad SAW. Annisa mengatakan, "Tuhan itu sangat sutradara banget! Kalau Allah ketemu Nabi Muhammad zaman sekarang, pasti bikinnya film". Alasan dari statment Annisa itu adalah, generasi kita tidak mempan dikasih tulisan, karena kita adalah generasi yang get philosofi in the movie.

7. Mengajarkan untuk tidak konsisten dengan ajaran agama. Ini terdapat dalam dialog Annisa yang ngomong, "Tuhan gue aja berani gue khianatin, apalagi loe ntar!?"

8. Sangat meremehkan agama. Salah satu buktinya terdapat dalam dialognya si Cina, yang mengatakan bahwa agama itu murah harganya, hanya seharga lima ribuan, dan dapat dibeli di tiap simpang. Ini secara tidak langsung mengasumsikan bahwa pindah agama itu boleh dan mudah sekali dilakukan.

9. Mengurangi kekuasaan Tuhan. Ini terdapat dalam dialognya Annisa yang mengatakan, "Kalo gitu mengapa Tuha menciptakan Ateis? Capek tau disembah dan dipuji setiap orang dan setiap saat". Sejak kapan Tuhan bisa capek...? Lagian juga kebesaran Tuhan itu kan bukan karena ibadah umatnya. huuuhhh...! Ada ada aja tuh Annisa...!

10. Tuhan dianggap mengkotomi dan cenderung membeda-bedakan manusia. Ini terdapat dalam dialognya Cina ketika ditanya oleh Annisa: "Emang Tuhan suka yang kayak apa?" Jawab Cina "Yang IP-nya di atas 3". Cina juga bilang kalau hanya dia dan Tuhan saja yang bisa cinta kepada Annisa bukan karena kecantikannya, tapi karena Annisa kaya! Wah, kalo gitu, Tuhan gak seneng sama yang miskin donk....? :(

11. Cina meremehkan hukum Islam. Ini terdapat dalam adegan ketika Annisa secara bercanda menempeleng muka si cina, dan Annisa bilang kalau dalam agamanya diajarkan, jika kamu ditampar pipimu, maka kamu balas juga dengan menampar pipinya. Namun kemudian Cina menjawab, "Semangat balas dendam dicampur dengan semangat menyalahin orang lain." Dia tambahkan bahwa hukur seperti itu tidak bisa menciptakan perdamaian dunia.

12. Semangat pluralisme agama yang sangat jelas. Terdapat dalam perkataan Annisa yang bilang, "Kenapa Tuhan ciptakan kita beda-beda, kalau Allah hanya mau disembah sengan satu cara?"

13. Lagi-lagi meremehkan Tuhan. Ini dari perkataan Annisa lagi ketika menyanggah perkataan si cina dengan mengatakan, "Siapa sih loe, coba nyelesaiin konflik agama di dunia? Tuhan aja gak bisa!

14. Adegan berdoa sebelum makan yang dilakukan Cina dan Annisa sangat kental juga dengan pluralisme. Annisa berdoa seperti ini, "Tuhan yang kami sebut dengan berbagai naman. dan yang kami sembah dengan berbagai cara" ....

15. Penyalahgunaan ayat Al-Qur'an beserta penafsirannya. Di dalam adegan film itu dibacakan ayat ke-62 dari Surah Al-Baqarah yang menyatakan bahwa umat Islam, Yahudi, Nasrani, dan Shobi'in bisa masuk surga dengan amal baik. Ayat ini memang salah satu ayat andalan bagi kalangan yang gencar menyuarakan pluralisme agama. Padahal sudah banyak ulama yang mengupas habis mengenai tafsiran dari ayat ini. hehehe...! Udah lagu lama tuh...! hahaha..!

16. Annisa turut merayakan natal bersama Cina. Meskipun Annisa menyatakan dalam dialognya kalau Natal itu tidak ada dalam Islam, dan orang Kristen itu dianggap salah oleh Islam.

17. Menyindir Islam yang melarang kapitalis. Cina said, "Mak...! Kapitalis pun gak boleh sama agama kau..!? Bisa penuh ntar neraka kau...!".

18. Menyudutkan umat Islam di Indonesia, dengan menyuarakan berita yang mengupas tentang pengeboman terhadap gereja-geraja pada malam Natal, yang disinyalir dilakukan oleh umat Islam.

19. Bahkan film ini sangat tidak nasionalis. Cina menganggap konsep Pancasila telah gagal untuk merukunkan umat beragama di Indonesia, yaitu dengan menurunkan lambang Garuda Pancasila yang terpampang di dinding kamarnya. Oh iya, selain itu ya, nih film juga ternyata tidak mengakui SBY dan Boediono sebagai pemimpin negara kita. Buktinya, foto dia tuh yang dipacang mendampingi Garuda Pancasila. hehehe...!

20. Di ending cerita ini, bau-bau Ateisme sangat keciuman sekali. Cina mengatakan, "Lebih baik gak usah ada Tuhan. Gak usah ada agama!"

Itu dulu sih yang baru bisa aku dapatkan dari film Cin(T)a itu. Mungkin teman-teman lain bisa menambahkannya. Dan yang terpenting, kalo kamu nonton film ini, hati-hati banget ya dengan setiap dialog yang ada dalam film itu.

Oke deh itu aja...!
Thanks atas perhatiannya.
Kalo ada teman-teman yang gak setuju dengan pendapat aku di atas.
Silahkan kasih komen aja di noteku ini.

Selasa, 04 Mei 2010

Bhinneka dan Ujian Liberalisme

3 komentar

Hidayatullah.com--Sudah menjadi maklumat umum bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi, baik keberagaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, norma masyarakat, bahkan sampai watak dan karakteristik setiap penduduknya.

Indonesia memiliki 17.667 buah pulau, baik besar maupun kecil. Sebagian besar adalah perairan, sedangkan luas wilayah daratannya hanya 735.000 mil persegi (seluas Alaska). Di sekian banyak pulau yang ditempati penduduk Indonesia tersebut, terdapat lebih dari 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang sangat berbeda. Dan sistem sosialnya juga berbeda-beda, dari desa-desa kecil yang terpencil sampai kepada kota-kota metropolitan yang besar dan maju. Maka wajar saja kalau negara kita ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka ragam namun satu jua.

Semboyan ini sesungguhnya sudah sangat mewakili gambaran masyarakat Indonesia. Meski keberagaman itu banyak sekali, namun semuanya itu masih tetap berada di bawah satu atap, yaitu negara Republik Indonesia. Keragaman yang ada bukanlah suatu hambatan bagi masyarakat Indonesia untuk bersosial dan berinteraksi. Ketika semboyan ini diserukan, seketika itu juga jiwa persatuan itu tumbuh.

Akan tetapi permasalahannya tidak hanya sampai di situ saja. Ternyata di balik semboyan ini juga tersirat suatu peringatan yang penting bagi masyarakat Indonesia agar selalu menjaga integritas bangsa. Dengan kata lain, sebenarnya semboyan tersebut sangatlah sensitif terhadapat keutuhan tanah air. Jika keberagaman tersebut tidak dapat dijembatani dengan baik, maka dengan mudahnya masyarakat Indonesia akan pecah. Terbukti dengan kasus bercerainya Timor Timur dari NKRI, adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), perang suku yang terjadi di Sambas, kericuhan antara umat Islam dan Kristen di Poso, dan lain sebagainya.

Tentu saja ini menjadi catatan dan perhatian yang serius bagi kita semua. Keutuhan NKRI bagaimanapun harus tetap dijaga dan dipertahankan. Namun bukan berarti untuk mempertahankannya itu, kita harus mengorbankan keberagaman yang ada. Bukan berarti juga keberagaman itu yang menjadi sebab utama perpecahan yang ada. Karena keberagaman yang ada memang sudah menjadi sunnatullah. Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut, bisa menjadikan rahmat bagi umat.

Ujian liberalisme

Sekarang keberagaman yang ada di Indoneisa, khususnya keberagaman budaya, tengah menghadapi ujian yang cukup besar. Ujian itu datang melalui arus yang diberi nama dengan liberalisasi. Arus ini seolah menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi keberagaman tersebut. Kebebasan menjadi alternatif persamaan atas perbedaan. Sebab inilah mengapa liberalisasi itu dikatakan sebagai ujian bagi keberagaman Indonesia.

Bahkan liberalisasi tidak hanya sebagai ujian saja bagi kebhinekaan nusatara, namun lebih dari itu ia juga menjadi pengkhianat bagi kultur budaya Indonesia. Liberalisasi telah menjadi musuh dalam selimut bangsa. Salah satu buktinya adalah ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dilayangkan, banyak para liberalis yang mengatasnamakan keberagaman budaya untuk menolaknya.

Gesekan budaya Indonesia dengan budaya Barat sudah sejak lama muncul. Yaitu ketika mulai masuknya kolonial bangsa Barat ke Indonesia. Bangsa Barat ketika menjajah Indonesia, tentu saja tidak hanya karena mengeksplorasi rempah-rempah atau kekayaan alam Indonesia belaka. Di samping itu juga terdapat visi lain, yaitu penyebaran ajaran kepercayaan dan kebudayaan Barat.

Orang Indonesia yang hidup di zaman kolonial ini tentu sangat merasakan bagaimana gesekan budaya pribumi dengan budaya Barat itu terjadi. Dengan kekuasaannya, Barat sangat mudah memaksakan budaya dan pemikirannya kepada masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah modernisasi adat dan budaya itu sendiri.

Tapi yang seharusnya menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah, apakah cocok budaya dan pemikiran Barat itu jika diterapkan pada masyarakat Indonesia?

Pada dasarnya kultur Barat dan Indonesia sangat berbeda. Kultur Barat dengan kapitalismenya memiliki sifat seperti berikut; adanya minat yang tinggi terhadap hal yang baru, adanya semangat berpetualang dalam mengusahakan hal-hal yang baru tersebut, tingginya individualisme, dan pengagungan kepada materi. Sifat seperti ini tidak mudah untuk ditanamkan di tempat lain. Ibarat suatu bibit tanaman, maka sifat-sifat yang ada pada Barat ini membutuhkan lahan yang sesuai dengannya, agar ia bisa tumbuh subur.

Agar lahan itu cocok dengan bibitnya, maka setidaknya ada persyaratan yang harus dimiliki. Salah satu syarat untuk lahan tersebut adalah, adanya suatu suatu kelas yang kuat dari kaum urban yang terdiri dari orang-orang yang relatif bebas serta mandiri. Namun sayangnya Indonesia belum memiliki kelas seperti itu. Seperti realita sekarang, di Indonesia masih memiliki keragaman sosial. Konsep pemerintahan yang menjadi faktanya. Ada pemerintahan kota, ada juga pemerintahan desa. Dan keragaman seperti ini telah melekat dengan budaya Indonesia, serta masuk dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu bukti untuk menguatkan pendapat ini adalah kebijaksanaan kolonial Belanda di bidang perdagangan pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan di abad ke-19, hanya mampu membawa sedikit perubahan di bidang kehidupan ekonomi. Kebijakan ekonomi Belanda ternyata tidak mampu mengubah struktur sosial masyarakat Indonesia secara berarti.

Sekiranya ini sudah cukup untuk membuktikan kalau budaya pemikiran Barat itu tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Negara ini bukan lahan yang pantas bagi bibit-bibit Barat seperti liberalisme. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kultur Barat dan Indonesia, yang menyebabkan ketidakcocokan itu.

Selanjutnya, ada catatan penting yang harus disampaikan di sini. Kolonialisme Barat ternyata masih belum berakhir. Sampai sekarang gaungnya masih dapat didengarkan, meskipun masih sayup-sayup. Jika dulu kolonialisme adalah dengan cara pendudukan pemerintahan dan mengambil segala kekayaan alam yang ada di Indonesia, namun sekarang gerakan kolonialisme itu berbentuk ekspansi pemikiran Barat ke dalam masyarakat kita. Akan tetapi tujuan utama dari kolonialisme kuno dan sekarang tetap sama, yaitu menguasai negara dan dunia. Jika itu di Indonesia, niscaya ia akan mengusai Indonesia.

Maka di sinilah letaknya peranan kebudayaan beragam Indonesia dalam membasmi bibit-bibit Barat yang kolonialis dan liberalis. Keragaman budaya ini jangan mau dirasuki begitu saja oleh paham-paham seperti ini. Konsep pemikiran Barat seperti liberalisme itu bukan malah menjadi perantara untuk menjembatani kebhinnekaan Indonesia, akan tetapi justru menjadi bumerang yang nantinya menimbulkan kekacauan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Wallahu’alam.[www.hidayatullah.com]
 

Undiabolos Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Blogger Template