Oleh: Ahmad Sadzali
Hidayatullah.com--Lagi-lagi khazanah intelektual Islam diserang. Ini memang bukan kali pertamanya. Dalam sejarahnya, sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh para missionaries lewat gerakan imperialisnya. Mulai dari adopsi peradaban Islam beserta khazanah keilmuannya, sampai kepada misi missionaris yang dilancarkan ke berbagai negara-negara berpenduduk Islam.
Kehadiran missionaris agama di negara-negara Islam adalah suatu gerakan yang komlpeks yang terselubung dalam gerakan-gerakan kebudayaan, bantuan atau aktivitas lainnya. Kegiatan ini bisa berjalan lancar karena mendapat dukungan kaum kapitalis Barat. Dan para sejarawan telah mencatat bahwa gerakan ini dibungkus dalam bentuk kebijakan imperialisme dunia.
Pada mulanya gerakan missionaris ini hanya mengandalkan kekuatan dan tenaga sumber daya manusia. Namun dengan berkembangnya zaman, gerakan ini pun berkembang lebih sistimatis. Meraka membentuk lembaga-lembaga dan berbagai organisasi. Aeten Sezar, seorang penulis Turki telah mengemukakan mengenai hal ini:
“Pada abad ke17 masehi, gereja Katolik Roma yang memiliki kekuasaan atas pemerintahan Eropa, mendirikan Kementerian Propaganda Agama di Vatikan dengan mendirikan dan mengembangkan agama kristen di dunia. Bersamaan dengan gerakan ini, sekolah propaganda agama asing telah dibangun di Paris dengan pembiayaan dari kementrian tersebut. Berbagai institusi juga telah didirikan di Jerman, Perancis, dan Belgia disertai dengan aktivitas misionaris yang berpengaruh. Dalam rangka propaganda ini pula, sekolah-sekolah baru turut didirikan untuk memberikan latihan yang lebih baik kepada misionaris.”
Sampai sekarang arus missionaris itu sangat masih terasa sekali. Meski sekarang sudah tidak dalam bentuk gerakan imperialis. Sekarang misi-misi itu terus dilancarkan lewat berbagai isme, seperti liberalisme, sekularisme, feminisme, maupun pluralisme. Paham-paham ini gencar disebarkan. Namun yang lebih menyedihkan, paham ini disebarkan melalui para intelektul-intelektul Muslim.
Mengapa hal tersebut sampai terjadi?
Ini adalah salah satu akibat dari adopsi peradaban yang kebablasan. Pada awalnya ini sama seperti yang dilakukan Barat ketika zaman kejayaan ilmu pengetahun Islam dulu. Ketika itu Barat begitu terpesona dengan kemajuan Islam di segala bidang. Dari bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya, perdagangan, sampai kepada arsitektur. Dari pesona yang dipancarkan Islam itu, membuat Barat tertarik untuk mempelajari Islam. Akhirnya banyak orang-orang Barat yang datang ke nagara-negara Islam yang menjadi pusat kejayaan pengetahuan dan budaya waktu itu seperti Baghdad, Cordova dan Kairo untuk mempelajarinya.
Hal ini memang lumrah adanya. Suatu peradaban yang tertinggal belajar kepada peradaban yang sudah maju. Sehingga dapat belajar banyak dari peradaban tersebut. Seperti yang dilakukan Barat dulu terhadap peradaban Islam.
Sekarang Barat telah berubah menjadi peradaban yang pesat. Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikembangkan di sana. Sementara dunia Islam yang ketika zaman khalifah Mansyur, Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun telah mencapai kejayaannya, sedikit demi sedikit luntur. Jatuhnya peradaban Islam tersebut sangat jelas terlihat sejak abad ke-13 sampai sekarang.
Munculnya kembali spirit untuk memajukan peradaban Islam memang patut diacungi jempol. Seperti perahu terbalik, sekarang Barat telah memberi pesona kemajuannya di bidang ilmu pengetahun dan teknologi kepada dunia Islam. Kemajuan pesat Barat ini telah menjadi magnet kuat untuk menarik umat Islam untuk belajar di Barat. Sehingga banyak umat Islam yang pergi ke beberapa negara maju Eropa dan Amerika untuk belajar berbagai disiplin ilmu seperti teknologi, science, filsafat, dan bahkan belajar Islam.
Namun di tengah adanya gesekan atau bahkan perang peradaban antara Islam dan Barat saat ini, ternyata situasi seperti ini membawa keuntungan besar kepada Barat. Perang peradaban ini telah membangkitkan kembali semangat missionaris Barat untuk menghancurkan Islam. Seakan ini adalah Perang Salib episode modern.
Seorang missionaris Henry Martyn (18 February 1781 - 16 October 1812) mengatakan; "Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta." Ia juga pernah mengatakan bahwa Perang Salib telah gagal. Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia Islam perlu dengan resep lain: gunakan kata, logika, dan kasih. Bukan dengan kekuatan senjata atau kekerasan.”
Umat Islam memang terlalu kuat untuk diserang dengan kekuatan senjata. Karena umat Islam memiliki satu senjata ampuh yang tidak dimiliki umat agama lain, yaitu semangat jihad dan mati syahid. Oleh karena itu stategi yang diterapkan mereka untuk menghancukan Islam tidak lagi dengan mengangkat senjata. Melainkan dengan kekuatan logika dan kata-kata.
Mereka telah masuk ke dalam tubuh Islam dan menyerangnya dari dalam. Ini adalah soft strategy yang telah banyak mengecoh umat Islam. Mereka mempelajari Islam untuk menyelewengkan ajaran Islam itu sendiri. Mereka mengembangkan Islamic study di Barat, sehingga menarik intelektual Muslim untuk belajar kepada mereka. Dengan demikian mereka dapat mentransfer paham mereka kepada para intelektul Muslim yang belajar kepada mereka tersebut. Sehingga paham pemikiran mereka dengan cepat mempengaruhi pemikiran Islam.
Mereka sengaja membuat paradigma bahwa peradaban Barat itu telah berjaya dan maju di segala bidangnya. Sementara itu Islam hanyalah peradaban yang ketinggalan zaman. Dengan paradigma tersebut akhirnya umat Islam merasa terpacu untuk meneliti mengapa Islam demikian? Adakah yang salah di dalam Islam? Sehingga akhirnya muncul wacana-wacana untuk memperbaharui Islam. Tapi sayangnya wacana-wacana pembaharuan itu kini menjadi momok bagi umat Islam itu sendiri.
Dasar-dasar Liberalisme
Di Indonesia sendiri, indikasi itu telah muncul sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Muhammad Tahir Djalaluddin (1869-1956) adalah murid Muhammad Abduh yang paling berjasa dalam ide pembaharuan Islam pertama di Indonesia. Melalui majalahnya al-Imam, Djalaluddin menyebarkan ide-ide pembaharuan Islam Timur Tengah di Indonesia dan Malaysia.
Meskipun sempat redup ketika memasuki zaman kemerdekaan Indonesia, di tahun 1970-an ide-ide liberal ini kembali dilanjutkan oleh Nurcholish Madjid. Dan tak ketinggal Harun Nasution juga turut membawa wacana pembaharuan Islam ini. Dia bahkan telah merubah kurikulum IAIN se-Indonesia dari Ahlus Sunnah ke Mu’tazilah sejak tahun 1975-an. Ide liberalisme ini terus berlanjut sampai kepada berdirinya suatu gerakan terang-terangan Islam liberal pada bulan Maret 2001 yang diusung oleh Ulil Abshar Abdala dan menamakan gerakannya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Arus liberal ini tak kunjung redup. Padahal liberalisme dalam penerapannya sangat berbahaya terhadap umat Islam. Ini adalah senjata pemusnah massal untuk merusak Islam dengan semboyan-semboyannya kebebasan berpikir dan toleransi.
Setalian dengan liberalisme, arus feminisme, sekularisme, dan pluralisme juga sangat terasa derasnya. Beberapa waktu lalu, umat Islam kembali dihebohkan dengan terbitnya buku yang berjudul Faith Without Fear oleh Irshad Manji, seorang Muslimah Kanada yang mendapat label “Feminis Abad 21”. Buku ini telah diterbitkan di beberapa negara seperti Pakistan, Turki, Irak, dan India. Dan sempat dilarang peredarannya.
Di dalam salah satu bab bukunya ini tertulis:
“…Al-Quran menasihati umat Yahudi dan Nasrani untuk tetap tenang. Tidak ada yang perlu mereka ‘takutkan atau sesalkan’ selama mereka tetap setia pada kitab suci mereka. Tetapi di sisi lain, Al-Quran secara terang-terangan menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya ‘keyakinan yang benar’. Aneh, bukan…?”
Kalimat-kalimat seperti itu dengan jelasnya tertera untuk melecehkan Al-Qur’an. Bagaimana bisa seorang Muslimah bisa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu aneh? Tapi inilah kenyataannya. Kenyataan Islam itu diserang dari dalam. Melalui intelektual Muslim itu sendiri.
Itu hanya satu contoh dari sekian banyak contoh betapa gencarnya serangan intelektul kepada Islam. Prinsip-prinsip Islam yang telah kokoh, sedikit demi sedikit mulai digoyahkan secara terang-terangan dan kasar. Mushaf Ustmani diserang melalui periwayatannya, melalui penemuan manuskrip lama, dan melalui tafsiran serta kekuatan intelektual. Hermeneutika dimasukkan sebagai metodelogi penafsiran untuk merusak Islam.
Tantangan bagi intelektul Muslim lebih kompleks lagi. Kemusyrikan dan kemungkaran terus merajalela. Syariat Islam mulai dilecehkan. Sedangkan pergaulan bebas sudah dibudayakan. Liberalisme seakan menjadi trend bagi intelektual muda Muslim. Sekularisme sudah menjamur di dalam sistem pemerintahan. Feminisme semakin gencar untuk menyudutkan Islam dalam memandang wanita. Pembaharuan Islam disalahgunakan untuk rekonstruksi tatanan hukum Islam yang sudah qoth’i.
Sebagai penutup, ketika pelak-pelaku ‘kemusyrikan’ dan kemungkaran itu semua berstatus Muslim, pilihannya adalah apakah kita ikut menjadi bagian mereka atau kita ‘melawan’ mereka? Wallahu a’lam.[AS/www.hidayatullah.com]
0 komentar:
Posting Komentar