Minggu, 20 September 2009

Antara Intelektual dan Politik

0 komentar
Oleh: Ahmad Sadzali

SALAH satu hal menarik untuk dibicarakan setelah pesta demokrasi adalah peran ulama atau kiai dalam ranah perpolitikan Indonesia. Banyak ulama yang mencoba terjun ke dalam kancah politik, dengan alasan politik sebagai media untuk dakwah.

Situasi semacam itu ternyata menjadi sorotan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ulama benar-benar mampu berpolitik? Apakah dengan terjunnya ulama dalam bidang politik dapat mengubah suasana perpolitikan di Indonesia?

Ada pendapat yang menyatakan agar ulama mundur dari dunia politik, karena tugasnya mengajarkan agama, pendidikan dan sosial kepada masyarakat. Politik itu kotor, sedangkan agama itu sakral. Jangan sampai mengotori agama yang sakral tersebut dengan politik.

Pernyataan seperti itulah yang lantas mendorong KH Miftakhul Akhyar, Rais Syuriah PWNU Jatim angkat bicara. Menurutnya, dalam situs Republika Online, 4 Agustus 2009, pernyataan seperti itu harus diwaspadai oleh umat Islam khususnya warga Nahdiyin. Sebab pernyataan seperti itu sekuler yang terselubung, berusaha mengerdilkan Islam.

Dalam sejarah kejayaan Islam, peran intelektual sangat besar. Khalifah Islam adalah para pemimpin yang selalu dan sangat memerhatikan masalah ilmu pengetahuan dan keintelektualan. Di belakang khalifah adalah deretan orang yang ahli dalam bidang masing-masing. Maka tak ayal kalau khilafah Islamiyah bisa mencapai kejayaan karena keintelektualannya.

Peranan ulama dahulu sebagai inspirator kemerdekaan Indonesia. Di antaranya HOS Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo, Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M Natsir dan sejumlah ulama serta intelektual lainnya.

Pendapat yang berusaha untuk memisahkan intelektual dengan politik sebenarnya pendapat yang sekuler. Pendapat yang mengotomi politik itu sendiri. Politik dinilai sebagai sesuatu yang hina, sehingga agama yang sifatnya suci tidak diperbolehkan masuk.

Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah adalah jargon yang banyak membuat ilmuwan atau ulama yang terjun di dunia politik kehilangan arah tujuannya.

Bila hal seperti ini terus terjadi dan berkembang di dalam dunia intelektual, maka akan menjadi momok bagi ulama maupun ilmuwan. Akhirnya mereka akan makin jauh dari dunia politik, sehingga terciptalah sebuah negara yang sekuler. Negara yang asas pemikirannya selalu berlandaskan untung dan rugi, tanpa menghiraukan etika dan moral.

Maka kita perlu mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan.

Sekarang ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah.

Maka, tidak bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan juga tokoh intelektual.

Sekarang Indonesia perlu berbenah diri kembali. Indonesia perlu mencetak generasi penerus politikus yang akan memikirkan bangsa dengan politikus yang intelek.

Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa memadukan antara intelektual dan politik, sehingga dapat bangkit kembali dari penjajahan dan keterpurukan.

[banjarmasinpost.co.id/edisi 20 Agustus 2009]
 

Undiabolos Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Blogger Template